Senin, 07 September 2015

Tentang Pernikahan


Pada suatu siang di hari Jumat menjelang waktu istirahat dengan lokasi di ruang kerja kami dan didukung alasan beban kerja yang sedang tidak banyak, terjadilah obrolan ini:

“Eh, Pete, cewekmu anak mana?” entah kesambet apa Mas Gun, rekan kerja gue tiba-tiba kepo.

“Mana itu maksudnya dari mana apa kerja dimana?” jawab gue mencoba menghindar untuk menjawab pertanyaannya.

“Ya dari mana?”

“Dari Salatiga.”

“Lah kok jauh amat. Gimana bisa kenal?” kekepoan Mas Gun rupanya masih berlanjut. Kenapa juga ini orang pakai sok heran segala. Sekarang ini sudah jamannya teknologi. Mobilitas dan komunikasi sudah gampang. Sudah bisa mengeliminasi jarak.

“Ya kenal dong Mas, kan teman kuliah.” Terima kasih untuk Nisa yang ikut membantu menjawab.

“Oh, teman kuliah. Orang keuangan juga dong. Di bagian apa dia?” ini pertanyaan sudah kayak Nusantara saja, sambung-menyambung.

“Sekretariat Mas.” jawab gue singkat.

“Terus nunggu apa lagi ini?”

“Eh?” skakmat. Gue bingung mau jawab apa. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling tidak ingin gue dengar saat ini. Singkat cerita, pertanyaan demi pertanyaan masih dilontarkan oleh Mas Gun, tapi gue jawab sekenanya saja sambil dibawa bercanda. Kenapa juga yang kayak begini dibahas. Ini kan privasi gue.

Apes banget gue hari itu. Rupanya sore hari menjelang jam pulang kantor, pertanyaan yang intinya “Kapan lo nikah, Pete?” masih dibahas lebih lanjut. Waktu itu gue sedang sibuk membuat bagan alir untuk SOP (Standard Operating Procedure) baru kantor gue. Sambil duduk di sofa di belakang meja kerja gue, tiba-tiba Mas Oki bertanya, “Eh Jok, umur lo berapa sekarang?” Iya, gue dipanggil Jok, singkatan dari Jokowi, nama Presiden kita saat ini. Ceritanya waktu kami mengadakan Rapat Koordinasi (rakor) dan sedang mengurus penginapan peserta, gue sedang terlibat pembicaraan dengan resepsionis hotel. Kemudian (masih di depan meja resepsionis) gue ngobrol sama Riski dan Pak Andi, rekan kerja gue juga, terkait akomodasi peserta. Tiba-tiba mbak resepsionis tadi nyeletuk begini, “Bapak ini suaranya mirip Bapak Jokowi banget ya.” Yang kemudian ditimpali sama si Riski, “Loh Mbak gak lihat? Ini kan mukanya juga mirip banget sama Pak Jokowi Mbak.” Sejak saat itulah gue selalu dipanggil “Jok” oleh nyaris semua rekan seruangan gue.

“Fiuh… nanya-nanya umur. Gue tahu ini arah pertanyaannya bakal kemana.” jawab gue.

“Lo kok negative thinking gitu sih sama gue Jok.” Hahaha… lucu juga ini mimik muka Mas Oki kalau lagi merajuk.

“Dua enam dia Mas.” Lagi-lagi Nisa membantu menjawab.

“Wah, sudah waktunya dong Jok.”

“Iya tuh Jokowi, sudah ada calonnya juga. Nunggu apa lagi.” Mas Gun ikut mengompori lagi.

“Jok, dulu itu gue nikah juga umur dua enam loh.”

“Kalau kelamaan, nanti kasihan anak lo juga. Masih kecil-kecil tapi bapaknya sudah nggak kuat gendong.”

“Yaelah Mas, ini gue kan masih bisa juga nikah di usia dua enam. Baru juga masuk dua enam. Lagi pula Mas Gun dulu kan nikah juga umur dua tujuh. Dan catet ya, gue rajin olahraga kali, masa gue gak kuat gendong anak kecil.” Kali ini jawaban gue panjang lebar. Berharap pertanyaan mereka berhenti sampai di situ.

“Eh suami gue, dua enam udah punya anak loh Jok.” Hellooo… Nisa kok ikut-ikutan juga sih.

“Lo-nya nggak apa-apa umur dua enam. Pikirin cewek lo jugalah! Kalian kan seumuran.” Obrolan yang mendorong (lebih tepatnya menyudutkan) gue untuk segera menikah ini masih berlanjut hingga jam pulang kerja.

Gue sebenarnya heran, kenapa orang-orang selalu ribut mempertanyakan kapan nikah saat melihat anak-anak muda seusia gue. Mungkin mereka perhatian kepada kami. Tapi apa iya nikah adalah pilihan terbaik di usia segini. Setiap orang pasti punya pandangan masing-masing kan. Mungkin mereka berkeinginan untuk berkarir dahulu, melanjutkan kuliah dahulu, membangun bisnis dahulu, menabung dahulu atau bahkan menyekolahkan adik-adiknya dulu. Prioritas semua orang seusia gue tidak mungkin sama. Yang pasti untuk orang-orang yang “normal” pasti sudah melingkari tahun dimana mereka akan menikah dalam agenda masing-masing.

Mau tidak mau obrolan yang sebenarnya asyik tadi (iya asyik, karena obrolan itu membuat interaksi sosial kami hidup. Kami bekerja tidak sekedar membangun relasi dengan komputer tetapi juga ikatan emosional dengan rekan kerja) membuat gue berpikir. Gue berpikir apa lagi yang gue tunggu? Gue sudah siap tapi kenapa sampai saat ini gue belum melamarnya? Apa gue belum yakin sama dia? Bukan, mutlak bukan itu alasannya. Gue sudah yakin ketika gue tahu gue jatuh cinta sama dia. Apa gue belum siap secara materi? Iya bisa jadi itu salah satu alasannya. Tapi gue rasa alasan itu saja tidak cukup kuat buat menahan gue untuk segera menikah. Hahaha… kesannya gue udah kebelet banget ya. Siapa yang tidak coba? Beberapa bulan lalu gue mendampingi teman gue yang mukanya stress berat mempersiapkan pernikahannya. Tapi setelah menikah, gue lihat mukanya berubah menjadi muka orang yang paling bahagia di dunia ini.

Malam ini gue sadar kenapa. Menikah itu bukan perkara membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus dipertimbangkan. Banyak yang harus dipersiapkan. Ini bukan masalah lebih cepat lebih baik. Ini keputusan sekali seumur hidup. Jadi sebaliknya, lebih lama lebih baik. Lebih lama yang dimaksud adalah pernikahan yang dijalani nantinya bisa bertahan bahkan bukan hanya sekedar lebih lama tetapi selamanya. David Mathis, editor buku Preparing for Marriage mencatat, “Pernikahan itu perkara besar. Apa yang sedang kamu pertimbangkan atau persiapkan ini bukan hal sepele. Jangan pikir, kamu bisa begitu saja menambahkan pernikahan sebagai lapisan baru atas hidupmu yang sudah sibuk itu. Pernikahan menuntut awal baru yang sepenuhnya. Mengevaluasi kembali komitmenmu, cek prioritasmu, memikirkan kembali kondisi normalmu.” Dan saat ini hal-hal itulah yang sedang gue lakukan.

3 komentar:

  1. Hiks.. hiks people dont know what we've been going through.. they just know the end story, yet they judge.. But of course we dont need to tell them our journey..

    BalasHapus
  2. jok, namaku kok disebut hahahaha...

    BalasHapus
  3. Hm... Review bukunya gimana? Haha

    BalasHapus